Site icon UnpriEdu

Ayah Petani, Anak Sarjana

Wisuda

Di tengah jutaan kisah perjuangan hidup di Indonesia, muncul satu cerita yang menyentuh hati banyak orang — kisah seorang petani asal Tegal, Jawa Tengah, yang berhasil mengantarkan anaknya meraih gelar sarjana dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Petani sederhana ini setiap hari bekerja di sawah, menantang panas terik dan hujan demi menafkahi keluarga. Namun di balik kehidupannya yang penuh keterbatasan, ia menyimpan mimpi besar: agar anaknya bisa menempuh pendidikan setinggi mungkin, melampaui apa yang pernah ia capai.

Mimpi Petani Sederhana untuk Pendidikan Anak

Bagi banyak keluarga di pedesaan, menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi bukanlah hal mudah. Biaya pendidikan, jarak, dan keterbatasan ekonomi sering kali menjadi penghalang. Namun, bagi petani ini, semua pengorbanan terasa layak jika itu demi masa depan anaknya.

“Saya tidak sekolah tinggi, tapi anak saya harus lebih baik dari saya,” katanya suatu hari kepada tetangga. Kalimat sederhana itu menjadi prinsip hidup yang ia pegang teguh.

Setiap hasil panen disisihkan, berapa pun kecilnya. Ia dan istrinya rela menunda kebutuhan pribadi, bahkan berhemat dalam makan hanya untuk menabung biaya sekolah. Meskipun penghasilan tidak menentu, tekad mereka untuk melihat sang anak kuliah tidak pernah padam.

Perjuangan Panjang Menuju UNJ

Anak petani tersebut, sebut saja Rizky, tumbuh dalam lingkungan sederhana. Setelah pulang sekolah, ia membantu orang tuanya di sawah — mengangkat karung padi, memberi makan ternak, hingga membantu menjual hasil panen ke pasar.

Namun semangatnya untuk belajar tak pernah luntur. Ketika diterima di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), kebahagiaan keluarga itu tak terlukiskan. Akan tetapi, di balik rasa bangga, muncul kekhawatiran besar soal biaya kuliah dan biaya hidup di Jakarta.

Sang ayah akhirnya menjual sebidang kecil tanah warisan dan meminjam uang dari kerabat untuk membantu biaya kuliah awal. “Yang penting anak saya bisa kuliah,” katanya mantap.

Rizky pun menjalani hidup hemat di Jakarta. Ia sering menahan lapar dan bekerja paruh waktu untuk menutupi biaya hidup. Namun, setiap kali merasa lelah, ia selalu mengingat wajah ayahnya di sawah — dan semangat itu membuatnya terus bertahan.

Hari Wisuda yang Penuh Haru

Setelah bertahun-tahun berjuang, hari yang dinanti pun tiba. Di aula megah UNJ, Rizky melangkah dengan toga dan senyum bangga, sementara di barisan tamu, sang ayah duduk mengenakan batik sederhana.

Air mata menetes di wajah petani itu saat nama anaknya dipanggil. “Rasanya seperti mimpi,” ucapnya lirih. “Dulu saya hanya ingin anak saya bisa baca dan tulis. Sekarang dia sudah jadi sarjana.”

Momen itu viral di media sosial setelah foto keduanya tersebar luas. Banyak warganet yang tersentuh, memuji keteguhan hati sang ayah yang membuktikan bahwa kemiskinan bukan penghalang untuk bermimpi.

Makna Pendidikan yang Sesungguhnya

Kisah ini lebih dari sekadar cerita sukses. Ini adalah potret nyata bagaimana pendidikan mampu menjadi jalan keluar dari kemiskinan.

Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa hanya sekitar 20% anak muda dari daerah pedesaan yang melanjutkan pendidikan tinggi. Faktor ekonomi, minimnya fasilitas, dan kurangnya dukungan sering kali menjadi alasan utama.

Menurut Dr. Nurhayati, dosen dan pemerhati pendidikan dari UNJ, kisah seperti Rizky menjadi bukti bahwa harapan masih ada. “Pendidikan bukan sekadar hak, tapi investasi masa depan. Ketika satu anak dari desa bisa kuliah, itu membuka jalan bagi generasi berikutnya.”

Kembali untuk Menginspirasi

Usai lulus, Rizky bertekad kembali ke kampung halamannya untuk mengajar. Ia ingin membantu anak-anak desa agar berani bermimpi besar, seperti yang dulu dilakukan ayahnya.

“Saya ingin anak-anak di desa tahu bahwa tempat lahir tidak menentukan masa depan,” ujarnya. “Kalau ayah saya bisa percaya pada saya, saya juga harus jadi harapan bagi mereka.”

Kini, keluarga kecil itu menjadi inspirasi di lingkungannya. Banyak warga datang memberi selamat, dan sekolah-sekolah di Tegal bahkan mengundang Rizky untuk berbagi kisahnya di hadapan siswa.

Kisahnya mengajarkan bahwa pendidikan adalah warisan terbaik yang bisa diberikan orang tua kepada anaknya — bukan harta, tetapi kesempatan untuk hidup lebih baik.

Keteguhan dan Rasa Syukur

Di balik keberhasilan ini, tersimpan pesan yang mendalam tentang keteguhan dan rasa syukur. Sang ayah mungkin tidak kaya harta, tetapi ia kaya semangat dan keyakinan.

Ketika ditanya apa yang ingin ia sampaikan kepada orang tua lain, ia menjawab sederhana namun penuh makna:
“Sekolah memang mahal, tapi kebodohan lebih mahal.”

Kalimat itu mencerminkan kenyataan bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang yang tak ternilai, baik bagi keluarga maupun bagi bangsa.

Cerminan Harapan Indonesia

Kisah petani Tegal dan anaknya bukan hanya cerita keluarga, melainkan potret kecil dari perjuangan bangsa ini dalam memperjuangkan kesetaraan pendidikan.

Di tengah kemajuan teknologi dan dunia digital, kisah mereka menjadi pengingat bahwa keberhasilan sejati tidak datang secara instan. Ia lahir dari kerja keras, doa, dan cinta tanpa syarat.

Kini, Rizky siap melangkah menapaki babak baru dalam hidupnya. Sementara sang ayah, dengan tangan yang kasar oleh lumpur sawah, bisa tersenyum lega — karena ia telah menunaikan janji terbesarnya sebagai orang tua.

Penutup

Kisah ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap toga yang dikenakan di hari wisuda, ada air mata, keringat, dan pengorbanan panjang. Bahwa di balik setiap gelar sarjana, ada perjuangan orang tua yang tak pernah lelah percaya.

Pendidikan memang tidak mudah dijangkau semua orang, tapi kisah seperti ini membuktikan satu hal penting — selama ada tekad dan cinta, tidak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk digapai.


Sumber Artikel : https://www.detik.com/
Sumber Gambar : https://www.detik.com/

Exit mobile version