Anggota DPR RI sekaligus tokoh pendidikan Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menegaskan bahwa praktik hukuman fisik terhadap murid oleh pengajar tidak dapat dibenarkan dalam bentuk apa pun. Ia menyerukan agar seluruh lembaga pendidikan di Jawa Barat menerapkan sistem disiplin positif yang mendidik tanpa kekerasan.

Pernyataan ini disampaikan Dedi menyusul sejumlah laporan yang mencuat di media sosial mengenai tindakan pengajar yang memberikan hukuman fisik kepada siswa dengan dalih mendisiplinkan mereka. Bagi Dedi, pendekatan seperti itu sudah tidak relevan dengan prinsip pendidikan modern dan hak anak.

“Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman, bukan tempat yang menakutkan. Tugas guru adalah membimbing, bukan melukai,” ujar Dedi Mulyadi saat diwawancarai di Purwakarta, Kamis (30/10).

Menolak Kekerasan Sebagai Alat Disiplin

Dedi menekankan bahwa kekerasan fisik, sekecil apa pun bentuknya, tidak bisa dijadikan cara untuk menegakkan kedisiplinan. Ia menilai pendekatan keras hanya akan melahirkan ketakutan, bukan rasa hormat atau kesadaran moral.

Menurutnya, sistem pendidikan harus dibangun atas dasar empati, komunikasi, dan keteladanan, bukan rasa takut. Pengajar, lanjutnya, memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi figur yang mampu menanamkan nilai-nilai positif dengan kasih sayang.

“Kalau murid takut karena dipukul, mereka tidak belajar menghormati. Mereka hanya belajar bagaimana menghindari hukuman,” jelas Dedi.

Ia mengingatkan bahwa peran pengajar lebih dari sekadar pengajar, tetapi juga pembimbing karakter yang membentuk generasi beretika dan berempati.

Kebijakan Pendidikan Harus Ramah Anak

Dalam pandangannya, Dedi mendorong agar seluruh sekolah di Jawa Barat menerapkan prinsip Sekolah Ramah Anak (SRA) sesuai kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Program ini menekankan pentingnya lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan tanpa kekerasan.

Ia menyebut bahwa pemerintah daerah harus berani membuat regulasi tegas terhadap praktik kekerasan di sekolah, termasuk sanksi administratif maupun pembinaan terhadap tenaga pendidik yang melanggar.

“Kalau perlu, ada pelatihan ulang bagi guru tentang cara mendisiplinkan siswa tanpa kekerasan. Guru pun manusia, mereka butuh ruang belajar untuk memperbaiki diri,” katanya.

Menumbuhkan Disiplin dengan Empati

Menurut Dedi, kunci keberhasilan pendidikan ada pada kemampuan pengajar dalam memahami latar belakang dan karakter setiap murid. Ia menyarankan agar pengajar menggunakan pendekatan dialogis dan berbasis empati dalam menghadapi pelanggaran kedisiplinan.

Misalnya, ketika siswa terlambat atau melanggar aturan sekolah, pengajar bisa mengajak berdiskusi tentang sebab dan akibat perbuatannya. Pendekatan seperti ini dinilai lebih efektif untuk menumbuhkan kesadaran daripada hukuman fisik.

“Anak-anak sekarang hidup di era digital. Mereka butuh contoh nyata, bukan sekadar perintah. Kalau pengajar bisa jadi panutan, otomatis murid akan meniru,” ujar Dedi.

Hukuman Fisik dan Dampak Psikologis

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa hukuman fisik dapat berdampak buruk terhadap perkembangan mental anak.
Anak yang sering mendapatkan kekerasan di sekolah cenderung mengalami trauma, menurunnya motivasi belajar, bahkan hilangnya rasa percaya diri.

Dedi menyoroti bahwa efek seperti itu bisa berlangsung jangka panjang, termasuk munculnya perilaku agresif di kemudian hari. Karena itu, ia menegaskan pentingnya transformasi pola pikir pendidik dari “menghukum” menjadi “mendidik”.

“Pengajar harus belajar mengelola emosi. Tidak semua pelanggaran murid harus dibalas dengan marah. Kadang yang dibutuhkan anak hanya didengarkan,” tambahnya.

Ajakan untuk Orang Tua dan Masyarakat

Selain pengajar, Dedi juga mengajak para orang tua untuk ikut berperan aktif dalam mengawasi dan membimbing anak-anak mereka di rumah. Ia menilai pendidikan karakter tidak bisa hanya dibebankan kepada sekolah, tetapi juga harus menjadi tanggung jawab bersama.

“Kalau di rumah anak dipukul, di sekolah juga dipukul, di mana mereka bisa merasa aman? Anak-anak harus tumbuh dengan cinta, bukan ketakutan,” ujarnya.

Ia berharap masyarakat tidak diam jika melihat adanya tindakan kekerasan di lingkungan sekolah. Pelaporan dan advokasi terhadap kasus seperti ini dianggap penting untuk melindungi hak-hak anak di bidang pendidikan.

Kritik Terhadap Pola Pendidikan Lama

Dedi Mulyadi juga menyinggung bahwa pola pendidikan konvensional yang masih menganggap kekerasan sebagai cara mendidik sudah seharusnya ditinggalkan.
Menurutnya, dunia telah berubah dan pendekatan pendidikan pun harus menyesuaikan dengan nilai-nilai kemanusiaan serta perkembangan psikologi anak.

Ia mencontohkan negara-negara maju yang telah lama meninggalkan praktik hukuman fisik dan menggantinya dengan sistem pendidikan berbasis motivasi dan refleksi diri.

“Disiplin itu penting, tapi harus dibangun atas kesadaran, bukan ketakutan. Guru sebaiknya menjadi inspirator, bukan eksekutor,” tegasnya.

Pendidikan sebagai Ruang Pembentukan Karakter

Lebih jauh, Dedi menekankan bahwa pendidikan seharusnya menjadi tempat di mana karakter anak dibentuk melalui pengalaman positif.
Pengajar berperan sebagai pemandu, sementara sekolah menjadi ekosistem yang menumbuhkan rasa ingin tahu, keberanian, dan tanggung jawab sosial.

Dengan demikian, setiap interaksi di sekolah seharusnya memberikan pengalaman yang membangun kepercayaan diri siswa, bukan justru meninggalkan luka batin.

“Anak-anak yang tumbuh dengan cinta akan jauh lebih mudah diarahkan. Mereka belajar bukan karena takut, tapi karena menghargai pengajar mereka,” ujar Dedi.

Dorongan untuk Reformasi Pendidikan

Sebagai penutup, Dedi menyerukan agar pemerintah daerah bersama dinas pendidikan segera melakukan evaluasi sistem pembinaan pengajar di Jawa Barat. Ia menyarankan adanya pelatihan rutin tentang pendidikan berkarakter dan pengelolaan emosi bagi tenaga pendidik.

Selain itu, ia mendorong agar sekolah membangun sistem pelaporan yang aman bagi siswa, di mana murid dapat menyampaikan keluhan tanpa takut mendapatkan tekanan atau intimidasi.

“Sekolah yang baik adalah sekolah yang bisa mendengar,” pungkas Dedi Mulyadi.

Kesimpulan

Sikap tegas Dedi Mulyadi menolak hukuman fisik di sekolah menandai langkah penting menuju pendidikan yang lebih manusiawi dan beretika di Indonesia.
Ia mengingatkan bahwa membentuk karakter tidak bisa dilakukan dengan kekerasan, melainkan melalui keteladanan, komunikasi, dan kasih sayang.

Dengan dukungan semua pihak—pengajar, orang tua, dan masyarakat—diharapkan lingkungan pendidikan di Jawa Barat, dan Indonesia secara umum, bisa menjadi ruang aman bagi anak untuk tumbuh dan belajar tanpa rasa takut.


Sumber Artikel : https://www.kompas.com/
Sumber Gambar : https://jabar.tribunnews.com/