Senyum merekah di wajah Ida Mujtahidah saat menerima ijazah dari Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada (UGM), Wawan Masudi. Dengan kursi roda listrik yang selalu menemaninya, Ida berhasil menyelesaikan studi magister tepat waktu di Program Studi Ilmu Hubungan Internasional dengan predikat cumlaude.

Ida, sapaan akrabnya, menjadi salah satu dari 841 lulusan program magister, spesialis, subspesialis, dan doktor yang diwisuda di Grha Sabha Pramana UGM pada akhir Januari 2025. Ia lulus dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,9, capaian yang menunjukkan dedikasi sekaligus kegigihannya menembus berbagai keterbatasan.

Perjalanan Penuh Dukungan

Keberhasilan Ida tentu tidak datang begitu saja. Ia mengakui pencapaiannya merupakan buah dari perjuangan panjang, serta dukungan penuh keluarga dan lingkungan sekitar.

“Dukungan keluarga sangat besar, baik secara moral, emosional, maupun logistik. Kursi roda listrik yang saya gunakan adalah salah satu bentuk nyata dukungan itu,” kata Ida.

Dukungan juga datang dari sesama penerima beasiswa LPDP yang setia mendampinginya. Mereka menjadi sahabat yang memastikan Ida tetap percaya diri, menemaninya ke psikolog, dan memberikan ruang aman ketika ia sempat mengalami mental breakdown selama masa studi.

Tantangan Selama Perkuliahan

Sebagai penyandang disabilitas, Ida menghadapi tantangan yang berbeda dibanding mahasiswa lain. Stamina fisik menjadi kendala utama yang harus ia kelola. Namun, dengan jadwal yang terstruktur, semangat yang konsisten, dan dorongan untuk segera menyelesaikan studi, Ida mampu melewati rintangan.

FISIPOL UGM sendiri turut mendukung mahasiswanya dengan menyediakan fasilitas aksesibilitas seperti:

  • Lift di setiap lantai.
  • Ruang khusus difabel di perpustakaan dan arsip.
  • Jalur landai tambahan di FISIPoint.
  • Sistem pembelajaran hybrid, yang memudahkan mahasiswa belajar secara daring maupun luring.
  • Pengumpulan tugas online, yang membantu fleksibilitas mahasiswa dengan keterbatasan mobilitas.

Meski begitu, Ida menilai masih ada ruang untuk peningkatan. “UGM perlu menambah transportasi kampus yang inklusif dan memperbaiki aksesibilitas gedung-gedung tua,” ungkapnya.

Aktif dalam Advokasi Disabilitas

Selain fokus belajar, Ida aktif menyuarakan hak penyandang disabilitas. Sejak 2023, ia terlibat dalam berbagai kegiatan advokasi serta forum akademis.

Beberapa pencapaian Ida di luar kelas antara lain:

  • Terpilih sebagai Best Paper Presenter pada 6th International Conference on Interreligious Studies (ICONIST) yang digelar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
  • Menjadi partisipan Sekolah Riset Advokasi Disabilitas 2024, kolaborasi antara SAPDA (Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak) dan KONEKSI (Knowledge Partnership Platform Australia – Indonesia).
  • Menjadi salah satu dari hanya 21 peneliti disabilitas terpilih di seluruh Indonesia untuk program riset tersebut.
  • Menghadiri konferensi internasional “Pengetahuan dari Perempuan” yang digelar Komnas Perempuan di Universitas Brawijaya pada September 2024.

Keterlibatan Ida di panggung nasional dan internasional memperlihatkan bahwa difabel mampu bersaing setara dengan peneliti dan akademisi lainnya.

Harapan dan Langkah ke Depan

Meski telah meraih gelar magister, Ida tidak ingin berhenti. Ia masih berencana melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi. Menurutnya, pendidikan adalah kunci utama untuk membuka peluang kerja bagi penyandang disabilitas.

“Kampus tidak hanya memberikan ilmu, tetapi juga membangun kepercayaan diri dan jaringan profesional yang diperlukan untuk bersaing,” ujarnya.

Ida berharap kelulusannya dapat menjadi inspirasi dan dorongan bagi kampus lain untuk lebih inklusif. Ia menegaskan bahwa dukungan masyarakat sangat penting, baik dalam bentuk pemahaman atas kebutuhan difabel, menghapus stigma, maupun membuka kesempatan setara di pendidikan dan dunia kerja.

Simbol Ketangguhan dan Inklusi

Kisah Ida Mujtahidah bukan sekadar tentang pencapaian akademik. Lebih dari itu, ini adalah cerita tentang ketangguhan, harapan, dan perjuangan melawan keterbatasan. Dengan dedikasi, dukungan keluarga, serta lingkungan yang inklusif, ia mampu membuktikan bahwa penyandang disabilitas dapat berprestasi tinggi di dunia akademis maupun sosial.

UGM, melalui Ida, juga menunjukkan peran penting perguruan tinggi dalam mencetak lulusan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara mental, sosial, dan emosional.

Penutup

Kisah Ida Mujtahidah menjadi pengingat bahwa kesempatan setara harus terus diperjuangkan. Pendidikan tinggi bisa menjadi jembatan bagi penyandang disabilitas untuk meraih mimpi, berkontribusi, dan mengubah stigma di masyarakat.

Dengan capaian cumlaude dan sederet kiprah advokasi, Ida bukan hanya menorehkan prestasi pribadi, tetapi juga membuka jalan bagi hadirnya kebijakan dan budaya yang lebih inklusif di Indonesia.

Ida adalah bukti bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk meraih mimpi besar. Ia menjadi inspirasi bagi generasi muda, khususnya bagi penyandang disabilitas, bahwa ilmu pengetahuan dan tekad kuat mampu menembus batas.


Sumber Artikel : https://ugm.ac.id/
Sumber Gambar : https://ugm.ac.id/