Dalam upaya besar menuju energi berkelanjutan, sekelompok mahasiswa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) berhasil mengembangkan riset yang mampu mengubah minyak jelantah menjadi bahan bakar pesawat ramah lingkungan atau sustainable aviation fuel (SAF).

Penelitian ini baru-baru ini mendapat perhatian nasional setelah dipresentasikan dalam forum riset energi terbarukan. Hasilnya dianggap mampu mengubah cara Indonesia dan dunia memandang limbah dapur serta potensi energi hijau di masa depan.

Dari Limbah Dapur ke Langit Biru

Minyak jelantah selama ini dianggap sebagai limbah bernilai rendah yang seringkali mencemari lingkungan ketika dibuang sembarangan. Namun, para mahasiswa ITB melihat potensi besar di balik sisa minyak goreng tersebut.

Melalui serangkaian proses kimia, mereka berhasil mengubah minyak jelantah menjadi senyawa hidrokarbon yang memiliki karakteristik serupa dengan Jet A-1, bahan bakar utama pesawat komersial.

“Tujuan kami bukan sekadar mendaur ulang, tapi mengubah cara pandang terhadap energi berkelanjutan,” ujar Alya Rahmadani, ketua tim riset dari Teknik Kimia ITB.

Proses Sains di Balik Inovasi

Tim riset ITB menggunakan teknologi hydrotreated vegetable oil (HVO) — metode yang telah dikaji secara global namun jarang diterapkan dengan bahan lokal di Indonesia.

Minyak jelantah yang dikumpulkan dari rumah tangga dan restoran disaring terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran.

Yang membuat riset ini unik adalah penggunaan katalis murah dan lokal. Alih-alih memakai bahan impor, tim memanfaatkan mineral Indonesia seperti nikel dan zeolit untuk menciptakan katalis ramah lingkungan.

Pendekatan ini tidak hanya memangkas biaya produksi, tetapi juga meningkatkan nilai tambah sumber daya dalam negeri.

Menuju Aviasi yang Lebih Hijau

Industri penerbangan merupakan salah satu sektor dengan emisi karbon tertinggi, menyumbang sekitar 2,5% dari total emisi CO₂ global. Menurut data International Air Transport Association (IATA), penggunaan bahan bakar aviasi berkelanjutan dapat menurunkan emisi hingga 80% dibanding bahan bakar fosil konvensional.

Sebagai negara dengan industri penerbangan yang terus berkembang, Indonesia menghadapi tantangan besar untuk beradaptasi dengan tuntutan global terkait efisiensi energi dan keberlanjutan.

“Indonesia punya bahan mentah dan SDM unggul. Tinggal bagaimana kita bisa mendorong investasi dan regulasi,” ujar Prof. Agus Santoso, pakar energi terbarukan ITB.

Dari Kampus ke Industri

Meski masih dalam tahap laboratorium, tim ITB telah menjalin komunikasi awal dengan sejumlah pihak industri seperti Pertamina New & Renewable Energy (NRE) dan Garuda Indonesia untuk uji coba skala kecil.

Riset ini sejalan dengan rencana Pertamina membangun bio-refinery guna memproduksi bahan bakar nabati untuk transportasi darat dan udara. Jika berhasil dikembangkan, Indonesia tidak hanya dapat mengurangi impor minyak mentah tetapi juga menciptakan ekonomi sirkular berbasis limbah.

Selain itu, tim ITB juga menggagas kerja sama dengan pemerintah daerah untuk program pengumpulan minyak jelantah berbasis masyarakat. Langkah ini membuka peluang ekonomi hijau bagi UMKM dan rumah tangga.

Dampak Ekonomi dan Lingkungan

Riset ITB ini memiliki dampak ganda: lingkungan yang lebih bersih dan ekonomi yang lebih kuat. Berdasarkan perhitungan awal, jika 20% minyak jelantah nasional — sekitar 3 juta liter per bulan — diolah menjadi SAF, maka emisi CO₂ dapat berkurang hingga 400.000 ton per tahun.

“Kami ingin menunjukkan bahwa inovasi besar bisa lahir dari bahan sederhana,” ujar Dr. Rina Wibisono, dosen pembimbing riset ini. “Minyak jelantah bisa jadi emas energi jika diolah dengan benar.”

Persaingan Global di Bidang SAF

Di kancah internasional, kompetisi pengembangan bahan bakar aviasi berkelanjutan semakin ketat.

Negara-negara seperti Amerika Serikat dan anggota Uni Eropa bahkan telah menerapkan kewajiban campuran biofuel dalam operasi penerbangan.

Indonesia kini memiliki peluang besar untuk menunjukkan bahwa negara berkembang pun bisa berinovasi mandiri. Jika proyek ITB ini berhasil dikomersialisasikan, Indonesia bisa menjadi salah satu pelopor teknologi SAF berbasis limbah di Asia.

Tantangan yang Dihadapi

Meski menjanjikan, riset ini masih menghadapi sejumlah kendala utama:

  • Ketersediaan minyak jelantah yang konsisten,
  • Biaya tinggi untuk proses hidrogenisasi,
  • Dan sertifikasi ketat agar bahan bakar memenuhi standar keselamatan penerbangan internasional.

“Kami percaya, dengan kolaborasi yang kuat, inovasi ini bisa terwujud di skala industri,” kata Alya optimistis.

Visi Anak Bangsa untuk Energi Bersih

Lebih dari sekadar proyek ilmiah, riset ini menjadi simbol semangat anak muda Indonesia dalam menciptakan solusi bagi masa depan. Tim ITB berencana mempresentasikan hasil risetnya di Asia Pacific Renewable Energy Conference (APREC) 2025 dan telah mengajukan paten katalis lokal yang mereka kembangkan.

“Mimpi kami sederhana,” tutup Alya. “Kami ingin melihat pesawat terbang menggunakan bahan bakar bersih dari dapur rumah kita sendiri.”

Kesimpulan

Transformasi minyak jelantah menjadi bahan bakar pesawat bukan sekadar eksperimen kimia — ini adalah visi baru tentang bagaimana ilmu pengetahuan, keberlanjutan, dan kemandirian energi bisa berjalan beriringan.

Riset mahasiswa ITB ini menunjukkan bahwa solusi untuk masa depan tidak selalu datang dari teknologi mahal, melainkan dari ide sederhana yang dijalankan dengan dedikasi dan semangat perubahan.


Sumber Artikel : https://edukasi.sindonews.com/
Sumber Gambar : https://itb.ac.id/