Daftar Isi
Dalam upaya mencegah berkembangnya paham ekstremisme di kalangan pelajar, pemerintah Indonesia resmi menambahkan materi moderasi beragama ke dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam. Langkah ini dinilai sebagai strategi penting untuk memperkuat nilai toleransi, keseimbangan, dan harmoni di tengah keberagaman masyarakat Indonesia.
Kementerian Agama (Kemenag) menyatakan bahwa pendidikan merupakan ruang paling strategis untuk menanamkan pemahaman moderat sejak usia dini. Melalui pelajaran agama yang lebih kontekstual, diharapkan siswa tidak hanya memahami ajaran Islam secara tekstual, tetapi juga menghayatinya dengan nilai kemanusiaan dan kebangsaan.
Upaya Pemerintah Lawan Intoleransi
Kebijakan ini lahir di tengah kekhawatiran akan meningkatnya paparan intoleransi dan radikalisme di lingkungan pendidikan. Menurut data Kemenag, sejumlah survei menunjukkan sebagian siswa masih memiliki pandangan yang cenderung eksklusif terhadap perbedaan agama.
“Kami ingin pelajar memahami bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian dan menghormati perbedaan, bukan kekerasan,” ujar Direktur Pendidikan Agama Islam Kemenag, Ahmad Zain, dalam konferensi pers di Jakarta.
Melalui kebijakan baru ini, konsep moderasi beragama tidak diajarkan sebagai mata pelajaran terpisah, melainkan diintegrasikan ke dalam pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Pendidikan Pancasila serta Kewarganegaraan (PPKn).
Empat Pilar Moderasi Beragama
Kemenag mendefinisikan moderasi beragama berdasarkan empat pilar utama yang menjadi pedoman dalam penyusunan kurikulum baru, yaitu:
- Komitmen Kebangsaan – Menumbuhkan kesetiaan terhadap ideologi Pancasila, UUD 1945, dan persatuan nasional.
- Toleransi – Menghargai perbedaan pandangan, keyakinan, dan praktik keagamaan.
- Anti-Kekerasan – Menolak segala bentuk kekerasan atas nama agama.
- Akomodatif terhadap Budaya Lokal – Mengintegrasikan nilai agama dengan kearifan lokal masyarakat Indonesia.
Dengan empat pilar ini, siswa diharapkan memahami bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan kekuatan bangsa yang perlu dijaga bersama.
Implementasi di Sekolah
Penerapan materi moderasi beragama dilakukan secara bertahap. Di jenjang sekolah dasar, materi diberikan melalui kisah-kisah teladan Nabi dan sahabat yang mengajarkan sikap damai serta menghargai sesama.
Sementara di SMP dan SMA, pendekatannya lebih diskursif melalui studi kasus, diskusi kelompok, dan pembahasan isu aktual seperti ujaran kebencian dan penyebaran hoaks bernuansa agama di media sosial.
Kemenag juga menyiapkan pelatihan bagi pengajar PAI agar mampu menyampaikan nilai moderasi dengan pendekatan yang lebih kreatif. Pelatihan ini mencakup penggunaan modul digital, video pembelajaran, hingga forum diskusi daring di platform “Madrasah Digital.”
Peran Pengajar di Garis Depan
Pengajar menjadi ujung tombak dalam mewujudkan pendidikan moderasi. Mereka tidak hanya bertugas menyampaikan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan pola pikir siswa.
Siti Rahmawati, pengajar PAI di salah satu SMA Negeri di Yogyakarta, mengaku pendekatan baru ini membuat siswa lebih terbuka terhadap perbedaan.
“Sebelumnya mereka cenderung kaku dalam melihat perbedaan. Sekarang, mereka belajar untuk mendengarkan dan menghormati pendapat orang lain,” ujarnya.
Menurut Siti, moderasi beragama juga membantu siswa berpikir kritis terhadap informasi yang beredar, terutama dari media sosial yang sering kali memuat narasi ekstrem.
Tantangan di Era Digital
Kemenag mengakui tantangan terbesar pendidikan moderasi beragama berada di ruang digital. Berdasarkan riset Setara Institute, lebih dari 30% pelajar Indonesia pernah terpapar konten intoleran di media sosial, baik melalui video, meme, maupun komunitas daring.
Untuk itu, Kemenag bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam memantau dan menekan penyebaran konten ekstremisme digital. Selain itu, pelajar didorong untuk membuat kampanye positif bertema persaudaraan dan toleransi melalui media sosial mereka.
Dukungan Komunitas dan Tokoh Agama
Program ini juga mendapat dukungan luas dari berbagai organisasi keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kedua ormas ini menilai bahwa penguatan moderasi sejalan dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
“Moderasi bukan konsep baru. Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan sudah lama menegaskan pentingnya keseimbangan dan kemanusiaan,” ujar Prof. Din Syamsuddin, tokoh senior Muhammadiyah.
Selain itu, peran orang tua juga sangat penting. Mereka diharapkan meneruskan nilai-nilai moderasi di rumah melalui diskusi ringan, contoh sikap toleran, dan kebiasaan menghormati perbedaan.
Respon dari Siswa
Sejumlah siswa menyambut baik materi baru ini. Bagi mereka, pembahasan seputar toleransi dan kebinekaan terasa lebih dekat dengan realitas kehidupan sehari-hari.
“Saya jadi lebih paham bahwa agama itu bukan hanya soal ibadah, tapi juga bagaimana kita memperlakukan orang lain,” kata Andi, siswa SMA di Surabaya.
Pelajar lain menilai bahwa pelajaran moderasi membantu mereka mengenali narasi ekstrem di internet dan tidak mudah terbawa emosi oleh isu keagamaan.
Evaluasi dan Rencana ke Depan
Menurut hasil evaluasi awal Kemenag, sekitar 80% pengajar melaporkan perubahan positif di kelas setelah penerapan materi moderasi beragama. Siswa terlihat lebih sopan dalam berdiskusi dan mulai menunjukkan empati terhadap perbedaan.
Kemenag berencana memperluas program ini secara nasional hingga tahun 2026 dengan menambah pelatihan pengajar, mengembangkan bahan ajar multimedia, dan memperkuat kolaborasi antarinstansi pendidikan.
Menjaga Keseimbangan Iman dan Kebangsaan
Indonesia yang plural membutuhkan generasi muda yang tidak hanya taat beragama, tetapi juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Melalui kurikulum baru ini, pemerintah ingin menegaskan bahwa iman dan toleransi dapat berjalan beriringan.
Moderasi beragama bukan berarti mengurangi keimanan, melainkan menempatkan nilai-nilai agama sesuai dengan semangat kemanusiaan dan kebangsaan.
Kesimpulan
Masuknya materi moderasi beragama dalam pelajaran Islam menjadi langkah penting dalam membangun generasi yang cinta damai, toleran, dan berakhlak mulia.
Pendidikan terbukti menjadi benteng paling kuat melawan ekstremisme. Dengan membekali siswa pemahaman yang moderat dan inklusif, Indonesia sedang menyiapkan masa depan di mana perbedaan menjadi sumber kekuatan, bukan perpecahan.
Sumber Artikel : https://edukasi.sindonews.com/
Sumber Gambar : https://www.harakatuna.com/