Site icon UnpriEdu

Perjalanan Faqry Mengejar Mimpi Dokter

Faqry

Di sebuah sudut pedalaman Indonesia yang jauh dari riuh kota besar, seorang anak bernama Faqry tumbuh dengan mimpi yang begitu tinggi. Dijuluki “Anak Jungle” oleh teman-temannya, bukan karena perilakunya yang liar, tetapi karena tempat tinggalnya yang berada di pinggir hutan, daerah terpencil yang hanya bisa dicapai setelah melewati jalan tanah sepanjang beberapa kilometer. Namun kondisi geografis tak pernah menyurutkan semangatnya untuk bersekolah dan mengejar mimpi menjadi seorang dokter.

Faqry adalah siswa Sekolah Rakyat, sekolah sederhana yang dibangun untuk memberi kesempatan belajar bagi anak-anak pedesaan. Meski fasilitas terbatas, semangat belajar murid-muridnya tak kalah dengan anak-anak di sekolah perkotaan. Di antara mereka, nama Faqry mencuat karena kegigihannya yang melampaui batas.

Awal Julukan “Anak Jungle”

Julukan itu muncul bukan sebagai ejekan, melainkan sebagai bentuk kebanggaan. Faqry adalah siswa yang paling sering terlihat datang paling pagi, meskipun ia harus berjalan kaki hampir satu jam melalui jalan setapak di pinggir hutan. Jika hujan turun, ia berjalan dengan sandal jepit yang penuh lumpur. Jika musim kemarau tiba, ia menempuh perjalanan berdebu tanpa keluhan.

Para pengajar menyebut Faqry sebagai “anak yang tidak pernah patah semangat”. Sikapnya yang ceria, sopan, dan mau belajar membuatnya menjadi inspirasi bagi teman-teman lainnya. Ia digambarkan sebagai anak yang tidak terhenti oleh keadaan.

Sekolah Rakyat: Pendidikan dalam Keterbatasan

Sekolah Rakyat tempat Faqry belajar memang bukan sekolah megah. Bangunannya sederhana, beberapa kelas masih menggunakan papan tulis yang sudah aus, dan meja kursi yang sebagian besar merupakan hasil sumbangan para relawan.

Namun, justru dari tempat penuh keterbatasan ini lahir banyak anak dengan tekad besar. Pengajar yang mengajar adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang memilih tinggal di pedalaman demi memastikan pendidikan tetap berjalan.

Faqry salah satunya. Di sekolah itu, ia menemukan dunia yang lebih luas daripada hutan di sekeliling rumahnya. Ia mengenal angka, huruf, tubuh manusia, dan dari situlah muncul cita-cita besarnya: menjadi dokter.

Mimpi Besar dari Tempat yang Sederhana

Keinginan Faqry menjadi dokter bukan muncul tiba-tiba. Ia tumbuh bersama lingkungan di mana fasilitas kesehatan sangat terbatas. Ketika ada warga sakit, mereka harus menempuh perjalanan panjang ke puskesmas kecamatan. Beberapa orang bahkan tidak sempat tertolong.

Faqry kecil menyaksikan semua itu.

Setiap kali melihat petugas kesehatan datang ke desa, hatinya bergetar. Ia melihat bagaimana orang-orang begitu menghormati tenaga medis karena mereka menjadi harapan masyarakat.

“Suatu hari nanti saya yang akan membantu mereka,” ujar Faqry kepada gurunya saat sesi bimbingan belajar.

Ucapan itu tampak sederhana, tetapi dari anak seusianya, tekad tersebut lebih kuat dari yang terlihat.

Kedisiplinan sebagai Kebiasaan Sehari-hari

Faqry dikenal sebagai anak yang disiplin. Ia selalu membawa buku catatan kemana pun pergi. Jika sedang menunggu ibunya memasak atau ayahnya pulang dari ladang, ia duduk di teras kecil rumahnya sambil membaca buku IPA.

Di sekolah, ia sering menjadi relawan untuk membantu pengajar merapikan kelas, menyiapkan papan tulis, dan bahkan mengajari teman-teman yang kesulitan belajar. Sikap pedulinya itu membuat teman-temannya menghormatinya, meski mereka bercanda dengan memanggilnya “Anak Jungle”.

Faqry menerimanya dengan senyum.

Peran Pengajar yang Melihat Potensi

Salah satu tokoh penting dalam perjalanan Faqry adalah Bu Dini, pengajar IPA yang melihat kecerdasan luar biasa pada diri bocah itu. Ia membimbing Faqry secara personal, memberikan buku tambahan, dan sesekali mengajak Faqry mengikuti kelas daring yang ia buat menggunakan ponsel pribadinya.

“Anak ini punya masa depan cerah,” ujar Bu Dini kepada kepala sekolah. “Kalau diberi kesempatan, Faqry bisa melangkah sangat jauh.”

Dukungan ini sangat berarti bagi Faqry. Meski keluarganya tidak mampu membeli banyak perlengkapan sekolah, bantuan moral dari para pengajar membuatnya merasa didukung.

Keterbatasan Ekonomi Tidak Menghalangi Langkah

Faqry berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya bekerja sebagai petani kecil dan ibunya mengurus rumah serta membantu membuat keripik singkong untuk dijual ke pasar. Penghasilan pas-pasan tak membuat mereka menyerah terhadap pendidikan anak-anaknya.

Faqry memahami perjuangan orang tuanya. Maka ia semakin rajin belajar, berharap suatu hari dapat membalas kerja keras itu.

Terkadang ia harus belajar menggunakan cahaya yang remang karena listrik padam. Namun kondisi itu tidak pernah membuatnya berhenti membaca.

Relawan dan Komunitas yang Turut Membantu

Cerita tentang Faqry kemudian sampai kepada komunitas relawan pendidikan yang kerap datang ke desa tersebut. Ketika mereka mendengar tentang bocah yang memiliki mimpi menjadi dokter itu, mereka tergerak untuk membantu.

Relawan membawakan buku-buku tambahan, poster edukasi anatomi tubuh manusia, bahkan membuat jadwal kelas tambahan di akhir pekan. Dalam sesi-sesi tersebut, Faqry selalu duduk paling depan, antusias mendengarkan setiap penjelasan.

“Faqry itu seperti spons, menyerap semua ilmu,” kata salah satu relawan.

Dukungan komunitas membuat perjalanan pendidikan Faqry semakin kokoh.

Tantangan yang Tak Pernah Redup

Meski semangatnya tinggi, bukan berarti jalan Faqry mulus. Ia pernah hampir berhenti sekolah karena biaya peralatan belajar. Pernah pula beberapa kali absen karena harus membantu orang tuanya bekerja saat musim panen.

Namun para pengajar datang berkunjung ke rumahnya, memberi penguatan kepada keluarga agar Faqry tetap sekolah. Mereka percaya, jika satu anak di desa berhasil menggapai mimpi, itu akan mengubah masa depan banyak orang.

Faqry kembali ke bangku sekolah dengan tekad yang lebih kuat.

Harapan yang Semakin Dekat

Kini Faqry telah duduk di kelas yang lebih tinggi, dan mimpinya menjadi dokter semakin terarah. Ia mulai mempelajari lebih banyak materi sains, mengikuti try out yang dibuat relawan, dan mendapat bimbingan untuk persiapan sekolah lanjutan.

Para pengajar yakin bahwa Faqry berpeluang besar mendapatkan beasiswa. Kecerdasannya, kedisiplinannya, dan semangatnya yang tidak pernah pudar menjadi modal utama.

“Kalau saya jadi dokter, saya mau kembali ke desa ini,” kata Faqry ketika ditanya apa yang akan ia lakukan jika mimpinya tercapai.

Jawaban itu membuat semua orang yakin: bocah ini tidak hanya bermimpi besar, tetapi juga ingin memberi kembali.

Penutup

Kisah hidup Faqry, si “Anak Jungle” dari Sekolah Rakyat, mengingatkan kita bahwa mimpi besar tidak ditentukan oleh tempat lahir atau tingkat ekonomi. Mimpi dibangun oleh tekad, kerja keras, dan dukungan dari orang-orang baik yang percaya pada potensi seorang anak.

Faqry mungkin hanya satu dari sekian banyak anak pedalaman yang berjuang meraih pendidikan. Namun dari anak kecil di pinggir hutan ini, kita melihat harapan cerah bagi masa depan Indonesia—bahwa pendidikan bisa menjadi lentera yang menerangi jalan keluar dari keterbatasan.


Sumber Artikel : https://news.detik.com/
Sumber Gambar : https://news.detik.com/

Exit mobile version