Daftar Isi
- 1 Awal Mula Terjerat: Dari Game ke Judi
- 2 Sekolah dan Orang Tua Kalang Kabut
- 3 Fenomena yang Kian Mengkhawatirkan
- 4 Ahli: Kurangnya Edukasi Literasi Digital
- 5 Upaya Pencegahan dari Sekolah dan Pemerintah
- 6 Peran Orang Tua Jadi Kunci
- 7 Dampak Psikologis dan Sosial
- 8 Literasi Digital: Perlindungan Masa Depan
- 9 Kesimpulan
Fenomena pinjaman online (pinjol) kini merambah dunia pendidikan. Bukan hanya orang dewasa, tetapi pelajar tingkat SMP pun mulai menjadi korban. Kasus terbaru melibatkan seorang siswa yang nekat berutang di pinjol karena terjerat judi online (judol).
Kasus ini tidak hanya mengejutkan pihak sekolah dan orang tua, tetapi juga menyoroti kurangnya literasi digital dan pengawasan terhadap penggunaan gawai di kalangan remaja.
Awal Mula Terjerat: Dari Game ke Judi
Siswa tersebut awalnya dikenal sebagai anak yang aktif dan berprestasi. Namun, perubahan sikapnya mulai terlihat ketika ia semakin sering bermain game daring yang kemudian membawanya ke situs judi online.
Awalnya ia hanya mencoba-coba, tetapi dalam waktu singkat, perilaku berjudi menjadi kebiasaan. Ketika kehabisan uang jajan, siswa itu meminjam ke teman-temannya. Tak cukup sampai di situ, ia kemudian mencoba mengakses aplikasi pinjaman online dengan memalsukan data identitas.
Menurut keterangan pengajar bimbingan konseling, siswa tersebut bahkan menggunakan data orang tua tanpa izin untuk mengajukan pinjaman. Saat penagih mulai datang, barulah kasus ini terbongkar.
Sekolah dan Orang Tua Kalang Kabut
Pihak sekolah langsung memanggil orang tua dan melakukan mediasi. Pengajar dan konselor berusaha menggali penyebab perilaku siswa tersebut, dan hasilnya menunjukkan bahwa faktor lingkungan digital sangat berpengaruh.
Menurut kepala sekolah, kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa akses internet tanpa pengawasan bisa berdampak serius.
“Anak-anak sekarang sangat mudah mengakses apa pun lewat ponsel. Tapi tanpa bimbingan, mereka bisa terseret ke hal-hal yang salah,” ujarnya.
Sekolah pun mulai menerapkan langkah-langkah preventif, seperti pengetatan penggunaan ponsel di lingkungan sekolah serta sosialisasi literasi keuangan dan digital.
Fenomena yang Kian Mengkhawatirkan
Kasus pelajar terjerat pinjol bukan yang pertama di Indonesia. Dalam dua tahun terakhir, beberapa laporan serupa juga muncul di berbagai daerah. Kebanyakan melibatkan siswa yang tergoda untuk cepat kaya atau melunasi utang akibat judi online.
Menurut data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyalahgunaan pinjol oleh kalangan remaja meningkat seiring maraknya iklan aplikasi pinjaman yang mudah diakses tanpa verifikasi ketat.
Selain itu, platform judi online juga semakin gencar menyasar pengguna muda melalui iklan terselubung di media sosial, bahkan di dalam aplikasi game.
Ahli: Kurangnya Edukasi Literasi Digital
Pakar pendidikan dan literasi digital menilai bahwa kasus seperti ini berakar pada minimnya edukasi finansial dan kesadaran risiko digital.
Remaja sering kali tidak memahami konsekuensi hukum maupun finansial dari tindakan seperti meminjam uang secara ilegal atau berjudi.
Menurut Dr. Nia Hariani, peneliti perilaku digital remaja, generasi muda memerlukan “vaksin digital” berupa pembelajaran yang menanamkan nilai tanggung jawab dan etika daring sejak dini.
“Anak-anak tidak bisa dibiarkan belajar internet sendiri. Harus ada pendampingan, terutama di masa pubertas ketika rasa ingin tahu mereka tinggi,” jelasnya.
Upaya Pencegahan dari Sekolah dan Pemerintah
Untuk mencegah kasus serupa, pemerintah melalui Kemendikbudristek dan Kemenkominfo tengah memperkuat program literasi digital nasional yang menyasar siswa SMP dan SMA.
Beberapa sekolah kini mulai bekerja sama dengan lembaga keuangan dan platform edukasi untuk menyelenggarakan kelas literasi finansial dan keamanan digital.
Materi yang diajarkan meliputi cara mengenali aplikasi ilegal, bahaya judi online, hingga pengelolaan uang saku dengan bijak.
Selain itu, pelajar juga diajak berdiskusi tentang dampak sosial dan psikologis dari utang dan perilaku konsumtif di dunia maya.
Peran Orang Tua Jadi Kunci
Kasus ini juga menyoroti pentingnya peran orang tua dalam mengawasi aktivitas digital anak. Banyak keluarga yang memberikan akses gawai tanpa batas, tanpa memahami risiko konten yang dapat diakses anak mereka.
Psikolog keluarga, Aulia Rahmad, M.Psi, menekankan perlunya komunikasi terbuka antara orang tua dan anak.
“Alih-alih melarang total, ajarkan anak memahami apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dunia digital,” ujarnya.
Orang tua juga diimbau untuk lebih aktif memantau aplikasi yang digunakan anak, membatasi waktu penggunaan gadget, dan menggunakan fitur kontrol orang tua (parental control) yang kini sudah tersedia di hampir semua perangkat.
Dampak Psikologis dan Sosial
Terjerat pinjol dan judi online di usia muda dapat menimbulkan dampak psikologis berat. Rasa bersalah, stres karena tekanan utang, hingga kehilangan kepercayaan diri bisa mengganggu perkembangan anak.
Beberapa siswa bahkan memilih membolos atau menarik diri dari lingkungan sosial karena malu. Dalam kasus ini, bimbingan konseling di sekolah menjadi sangat penting untuk membantu siswa memulihkan diri.
Pengajar BK dari sekolah tersebut menuturkan bahwa siswa yang terlibat kini sedang menjalani sesi konseling rutin serta didampingi orang tua untuk proses pemulihan mental dan disiplin belajar.
Literasi Digital: Perlindungan Masa Depan
Kasus ini menjadi cermin nyata bahwa literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga kemampuan berpikir kritis, etis, dan bertanggung jawab di dunia maya.
Jika tidak segera ditangani, risiko serupa bisa terus terjadi pada remaja lain di seluruh Indonesia.
Oleh karena itu, sinergi antara sekolah, orang tua, dan pemerintah sangat diperlukan agar generasi muda dapat tumbuh sebagai pengguna teknologi yang cerdas dan beretika.
Kesimpulan
Kasus siswa SMP yang terjerat pinjol akibat judi online menjadi peringatan keras bagi semua pihak: akses teknologi tanpa kontrol bisa menjerumuskan anak muda ke jurang berbahaya.
Pendidikan finansial, pengawasan orang tua, dan literasi digital harus berjalan beriringan untuk membangun generasi yang tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga tangguh menghadapi godaan dunia digital.
Dengan kerja sama semua pihak, tragedi serupa bisa dicegah—dan teknologi bisa kembali menjadi alat pembelajaran, bukan sumber masalah bagi masa depan anak-anak Indonesia.
Sumber Artikel : https://www.detik.com/
Sumber Gambar : https://www.itworks.id/
