Sekolah Rakyat Ubah Hidup Merlin
Daftar Isi
Di sebuah desa kecil di Jawa Tengah, seorang gadis bernama Merlin kini bisa membaca dan berhitung — sesuatu yang dulu tak pernah ia bayangkan. Berkat program Sekolah Rakyat, Merlin berhasil menaklukkan keterbatasan yang selama ini menghalangi banyak anak di pelosok negeri: akses terhadap pendidikan.
Perjuangan Sebelum Mengenal Sekolah
Merlin, yang baru berusia 9 tahun, berasal dari keluarga sederhana. Ayah dan ibunya bekerja sebagai petani dengan penghasilan tak menentu. Karena sulitnya kondisi ekonomi, Merlin tidak sempat bersekolah di usia yang seharusnya. Setiap hari, ia membantu orang tuanya di sawah atau menjaga adiknya di rumah.
“Aku sering malu kalau teman-teman seumurku bisa baca tulisan di papan atau hitung uang di pasar,” ujar Merlin pelan. “Aku dulu bahkan tidak bisa menulis namaku sendiri.”
Kisah Merlin bukanlah hal yang asing. Di berbagai daerah terpencil di Indonesia, ribuan anak masih belum bisa menikmati pendidikan dasar. Data UNICEF menunjukkan bahwa satu dari lima anak Indonesia menghadapi hambatan untuk bersekolah karena kemiskinan, jarak, atau minimnya fasilitas.
Awal Baru Bersama Sekolah Rakyat
Perubahan besar dalam hidup Merlin terjadi ketika Sekolah Rakyat dibuka di desanya. Sekolah nonformal ini digagas oleh para relawan dan pengajar muda yang percaya bahwa pendidikan adalah hak semua anak, bukan hanya milik mereka yang mampu.
Kegiatan belajar dilakukan di balai desa dengan jadwal fleksibel, menyesuaikan dengan rutinitas anak-anak yang masih membantu orang tua mereka bekerja. Tidak ada sistem nilai ketat atau ujian menakutkan — fokus utama adalah membangun kemampuan dasar membaca, menulis, berhitung, dan keterampilan hidup.
“Awalnya aku takut salah dan malu,” kata Merlin. “Tapi para pengajar sabar sekali. Mereka ngajarin aku baca kata demi kata, sampai akhirnya bisa baca cerita.”
Dalam waktu kurang dari setahun, Merlin sudah bisa membaca lancar dan menghitung uang sendiri. Orang tuanya bangga, bahkan kini ikut mendorong anak-anak lain di kampung agar ikut belajar.
Belajar yang Dekat dengan Kehidupan
Keunikan Sekolah Rakyat terletak pada cara belajarnya yang kontekstual. Anak-anak tidak hanya duduk di depan papan tulis, tapi belajar dari kehidupan sehari-hari. Mereka belajar berhitung lewat aktivitas jual beli di pasar, membaca dari papan jalan, hingga menulis surat untuk orang tua.
“Pendidikan tidak boleh terasa jauh dari kehidupan mereka,” jelas Dewi Handayani, salah satu pengajar relawan. “Kami ingin anak-anak paham bahwa belajar itu bagian dari hidup.”
Selain pelajaran akademik, para pengajar juga membekali anak-anak dengan pengetahuan dasar tentang kebersihan, lingkungan, dan kerja sama. Tujuannya bukan hanya mencetak siswa pandai, tetapi juga anak-anak yang percaya diri, mandiri, dan peduli pada sesama.
Gotong Royong untuk Pendidikan
Sekolah Rakyat berdiri di atas semangat gotong royong masyarakat. Program ini tidak mengandalkan bantuan pemerintah semata, melainkan partisipasi warga desa. Warga menyediakan tempat belajar, orang tua menyumbang makanan, dan remaja desa membantu mengajar anak-anak kecil.
Dukungan komunitas inilah yang membuat sekolah tetap bertahan meski dengan sumber daya terbatas. “Kami tidak punya gedung megah,” kata Dewi, “tapi kami punya tekad dan rasa kebersamaan yang kuat.”
Tantangan yang Masih Dihadapi
Meski membawa harapan baru, Sekolah Rakyat tetap menghadapi berbagai kendala. Keterbatasan buku, alat tulis, dan fasilitas digital menjadi hambatan utama. Para pengajar, sebagian besar relawan, belum mendapatkan dukungan finansial tetap.
Selain itu, pandangan konservatif di beberapa wilayah masih menjadi tantangan. Beberapa orang tua menganggap sekolah tidak sepenting bekerja di ladang. “Meyakinkan mereka butuh waktu,” tutur Dewi. “Tapi ketika mereka lihat anaknya bisa baca dan bantu urusan keluarga, mereka mulai sadar manfaatnya.”
Para pakar pendidikan menilai bahwa model sekolah berbasis komunitas seperti ini bisa menjadi solusi bagi kesenjangan pendidikan nasional. “Sekolah Rakyat membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari masyarakat,” ujar Dr. Yuliana Setiawan, peneliti pendidikan dari Universitas Gadjah Mada. “Mereka menjangkau anak-anak yang selama ini terabaikan.”
Merlin dan Mimpi yang Tumbuh
Kini, Merlin bukan hanya bisa membaca dan berhitung, tapi juga mulai punya mimpi baru: menjadi pengajar. “Aku ingin ngajarin anak-anak lain yang belum bisa baca,” ujarnya penuh semangat.
Bagi Merlin, pendidikan bukan sekadar pelajaran di buku, tapi pintu menuju masa depan. Ia kini membantu adiknya belajar huruf di rumah dan menjadi contoh bagi teman-temannya di desa.
Kolaborasi Pemerintah dan Komunitas
Keberhasilan program Sekolah Rakyat mulai menarik perhatian berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat. Beberapa di antaranya kini bekerja sama untuk memberikan pelatihan, bantuan buku, dan sertifikat pengakuan belajar bagi siswa.
Kementerian Pendidikan pun menyebut bahwa pendekatan pendidikan komunitas seperti ini penting untuk mencapai target pemerataan pendidikan nasional 2030. “Tidak semua anak bisa dijangkau oleh sekolah formal,” ujar seorang pejabat kementerian. “Sekolah berbasis masyarakat menjadi jembatan bagi mereka yang tertinggal.”
Pendidikan yang Mengubah Nasib
Cerita Merlin hanyalah satu dari ribuan kisah serupa di Indonesia. Di balik kesederhanaan Sekolah Rakyat, tersimpan kekuatan besar: keyakinan bahwa setiap anak berhak belajar, bermimpi, dan mengubah hidupnya.
Pendidikan yang merata bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh masyarakat. Selama masih ada semangat belajar di hati anak-anak seperti Merlin, masa depan bangsa ini akan selalu punya harapan.
Kesimpulan
Sekolah Rakyat telah membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil. Dengan pendekatan sederhana, pendidikan berbasis komunitas mampu membuka akses bagi mereka yang sebelumnya tertinggal.
Bagi Merlin, kemampuan membaca dan berhitung adalah awal dari perjalanan panjang menuju mimpi. Dan bagi Indonesia, setiap anak yang bisa membaca adalah secercah cahaya bagi masa depan yang lebih adil dan berpengetahuan.
Sumber Artikel : https://news.detik.com/
Sumber Gambar : https://jakarta.tribunnews.com/
