Daftar Isi
- 1 Dari Ujian Menjadi Ajang Belajar Hidup
- 2 Kemandirian sebagai Tujuan Utama
- 3 Peran Pengajar dan Pendamping Sangat Vital
- 4 Teknologi Jadi Jembatan Inklusif
- 5 Orang Tua Berperan dalam Persiapan Mental
- 6 TKA sebagai Refleksi Pembelajaran
- 7 Dukungan Kebijakan Pemerintah
- 8 Kemandirian yang Terbentuk dari Proses
- 9 Menuju Pendidikan yang Lebih Manusiawi
- 10 Kesimpulan
Ujian Tes Kompetensi Akademik (TKA) biasanya dikenal sebagai sarana evaluasi kemampuan belajar siswa. Namun, bagi siswa berkebutuhan khusus, TKA kini memiliki makna lebih luas dari sekadar ujian akademik. Melalui pendekatan inklusif, banyak sekolah menjadikan TKA sebagai ajang penguatan karakter, latihan kemandirian, serta pengembangan potensi diri.
Konsep ini sejalan dengan arah kebijakan pendidikan nasional yang menekankan pendidikan yang berkeadilan dan berpusat pada peserta didik, tanpa terkecuali bagi siswa disabilitas.
Dari Ujian Menjadi Ajang Belajar Hidup
Di Sekolah Inklusif Negeri 02, pelaksanaan TKA tahun ini terasa berbeda. Alih-alih menegangkan, suasana ujian justru hangat dan menyenangkan. Siswa dengan beragam kebutuhan belajar terlihat antusias menyelesaikan soal, dibantu oleh pengajar pendamping yang hanya bertugas memberi arahan minimal.
Menurut Kepala Sekolah, TKA kini dimaknai bukan hanya sebagai tes kemampuan kognitif, tapi juga kesempatan bagi anak untuk menunjukkan kemandirian dan kepercayaan diri.
“Kami ingin anak-anak belajar mandiri, mengambil keputusan sendiri, dan percaya pada kemampuannya,” ujar Kepala Sekolah SDN Inklusif 02, Rini Astuti, M.Pd.
Pendekatan ini juga menjadi bagian dari pelaksanaan Kurikulum Merdeka, yang mendorong sekolah untuk menyesuaikan metode pembelajaran dan penilaian dengan kebutuhan setiap peserta didik.
Kemandirian sebagai Tujuan Utama
Kemandirian menjadi nilai utama yang ingin ditanamkan melalui pelaksanaan TKA bagi siswa berkebutuhan khusus. Bagi mereka, mampu duduk tenang, membaca soal sendiri, dan menulis jawaban tanpa banyak bantuan merupakan prestasi tersendiri.
Pengajar pendamping inklusi, Budi Raharjo, menjelaskan bahwa proses ini tidak hanya menilai hasil akhir, melainkan juga melatih kemampuan mengatur waktu, fokus, serta mengelola stres dan emosi.
“Satu anak bisa jadi butuh waktu lebih lama, tapi yang penting adalah mereka belajar mandiri. Itu nilai yang kami tanamkan,” katanya.
Peran Pengajar dan Pendamping Sangat Vital
Pelaksanaan TKA inklusif tak lepas dari peran pengajar dan tenaga pendamping khusus (GPK). Mereka berfungsi sebagai fasilitator, bukan pengarah.
GPK memastikan lingkungan ujian kondusif dan ramah bagi semua peserta, termasuk mereka dengan spektrum autisme, ADHD, atau gangguan sensorik.
Pengajar harus mampu menerjemahkan soal ke dalam bahasa yang mudah dipahami tanpa mengubah substansi. Pendekatan diferensiasi ini memungkinkan setiap siswa dapat mengerjakan soal sesuai kapasitasnya.
Selain itu, penggunaan alat bantu adaptif, seperti papan komunikasi visual, headphone peredam suara, atau meja khusus, turut membantu menciptakan pengalaman ujian yang lebih setara.
Teknologi Jadi Jembatan Inklusif
Penerapan teknologi juga menjadi penopang penting dalam penyelenggaraan TKA inklusif. Beberapa sekolah mulai memanfaatkan aplikasi asesmen digital berbasis suara dan gambar, yang memudahkan siswa dengan hambatan membaca atau menulis.
Dengan aplikasi ini, siswa bisa menjawab pertanyaan lewat sentuhan atau pilihan suara, membuat proses ujian lebih interaktif dan ramah disabilitas.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sendiri telah mendorong penggunaan teknologi adaptif di sekolah-sekolah inklusif melalui program Sekolah Digital Inklusif 2025.
Orang Tua Berperan dalam Persiapan Mental
Tak hanya sekolah, peran orang tua juga sangat penting dalam membangun kesiapan anak menghadapi ujian.
Di rumah, orang tua diarahkan untuk tidak menekan hasil nilai, melainkan mendukung anak agar tenang dan percaya diri.
Menurut psikolog pendidikan anak, Dr. Intan Pramesti, pola komunikasi positif di rumah dapat membantu anak lebih siap menghadapi ujian.
“Anak-anak berkebutuhan khusus perlu rasa aman dan dukungan emosional. Ujian bisa jadi tantangan besar bagi mereka, jadi yang dibutuhkan bukan tekanan, tapi keyakinan bahwa mereka mampu,” jelasnya.
TKA sebagai Refleksi Pembelajaran
Hasil TKA tidak semata-mata menjadi tolok ukur nilai akademik. Dalam konteks pendidikan inklusif, ujian ini menjadi alat refleksi bagi pengajar dan sekolah untuk mengevaluasi efektivitas metode pengajaran.
Sekolah dapat memetakan aspek mana yang perlu diperkuat — apakah keterampilan sosial, kemampuan akademik, atau kemandirian emosional.
Dengan data tersebut, pengajar bisa menyesuaikan strategi belajar yang lebih personal dan adaptif di semester berikutnya.
Dukungan Kebijakan Pemerintah
Kementerian Pendidikan terus berupaya memperkuat pelaksanaan pendidikan inklusif di seluruh Indonesia.
Melalui kebijakan Peta Jalan Pendidikan 2025, pemerintah menargetkan setiap kabupaten/kota memiliki minimal satu sekolah inklusif per jenjang pendidikan.
Direktur Pendidikan Inklusif, Kemendikbudristek, menegaskan bahwa ujian seperti TKA harus menjadi bagian dari proses belajar yang berkelanjutan, bukan sekadar momen evaluasi.
“Kami ingin semua anak, termasuk yang berkebutuhan khusus, mendapatkan pengalaman belajar yang adil dan bermakna. Ujian hanyalah salah satu cara untuk menilai perkembangan mereka secara holistik,” ujar Dr. Syaiful Hidayat dalam keterangan resmi.
Kemandirian yang Terbentuk dari Proses
Hasil observasi dari pelaksanaan TKA inklusif menunjukkan peningkatan signifikan pada aspek non-akademik siswa.
Beberapa siswa yang sebelumnya cenderung pasif kini mulai berani bertanya, meminta bantuan dengan sopan, dan mampu menyelesaikan tugas tanpa panik.
Peningkatan kecil seperti ini menunjukkan bahwa pendekatan inklusif berhasil menumbuhkan kemandirian melalui pengalaman langsung, bukan hanya teori.
Pengajar juga menilai bahwa proses ini menjadi pembelajaran emosional yang kuat — baik bagi siswa berkebutuhan khusus maupun teman-teman mereka di kelas reguler.
Menuju Pendidikan yang Lebih Manusiawi
Transformasi cara pandang terhadap ujian seperti TKA adalah bagian dari perubahan besar menuju sistem pendidikan yang lebih manusiawi dan adaptif.
Dengan memberikan ruang bagi semua anak untuk berkembang sesuai potensinya, sekolah inklusif berperan penting dalam membentuk masyarakat yang lebih empatik dan inklusif.
“Anak-anak belajar bukan hanya untuk lulus ujian, tapi untuk memahami dirinya sendiri,” pungkas Rini Astuti.
“Itulah makna sejati pendidikan — membantu mereka menemukan kekuatan dari dalam.”
Kesimpulan
Pelaksanaan TKA di sekolah inklusif membuktikan bahwa ujian bisa menjadi sarana pemberdayaan, bukan tekanan.
Bagi siswa berkebutuhan khusus, TKA bukan lagi tentang angka, melainkan tentang proses belajar untuk menjadi lebih mandiri, percaya diri, dan mampu menghadapi tantangan hidup.
Pendidikan inklusif dengan pendekatan seperti ini menjadi langkah nyata menuju masa depan pendidikan Indonesia yang lebih adil, ramah, dan berkeadilan bagi semua anak.
Sumber Artikel : https://www.kompas.com/
Sumber Gambar : https://www.kompas.com/
