DPR Dorong Kurikulum Anti-Pencabulan
Daftar Isi
Isu kekerasan seksual terhadap anak kembali menjadi sorotan publik. Menyikapi fenomena yang kian meresahkan, Wakil Ketua Komisi X DPR RI mendorong pemerintah dan lembaga pendidikan untuk segera menyusun serta menerapkan kurikulum anti-pencabulan di sekolah-sekolah maupun pesantren.
Langkah ini dinilai sangat mendesak mengingat kasus kekerasan seksual terhadap anak masih terus terjadi. Kurikulum tersebut diharapkan mampu menjadi instrumen edukatif sekaligus preventif bagi generasi muda agar lebih memahami risiko, pencegahan, hingga cara melaporkan jika menjadi korban kekerasan.
Kurikulum Khusus untuk Pencegahan Kekerasan Seksual
Menurut Waka Komisi X DPR, pendidikan anti-pencabulan sebaiknya masuk dalam kurikulum formal dan non-formal. Tidak hanya terbatas pada teori, namun juga dalam bentuk praktik, simulasi, hingga penyuluhan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa.
“Pendidikan ini bukan sekadar teori di atas kertas, tapi harus bisa menyentuh sisi praktis agar anak-anak lebih siap mengenali tanda-tanda bahaya dan berani berkata tidak,” ungkapnya.
Kurikulum anti-pencabulan juga akan menyasar:
- Pemahaman Tubuh
Anak diajarkan mengenal bagian tubuh pribadi yang tidak boleh disentuh orang lain. - Hak dan Batasan
Siswa perlu memahami bahwa mereka berhak menolak setiap bentuk perlakuan yang tidak nyaman. - Simulasi Situasi Nyata
Latihan menghadapi situasi darurat, misalnya jika ada orang asing atau bahkan orang dekat yang mencoba melakukan pelecehan. - Saluran Laporan
Memberikan informasi ke mana harus melapor, baik ke pengajar, pengajar pesantren, maupun lembaga perlindungan anak.
Fokus pada Sekolah dan Pesantren
Kurikulum ini diusulkan untuk diterapkan tidak hanya di sekolah formal, tetapi juga di pesantren, mengingat lembaga pendidikan berbasis keagamaan kerap dihuni oleh anak-anak di usia rentan.
Beberapa kasus kekerasan seksual di pesantren yang mencuat dalam beberapa tahun terakhir menjadi alarm penting bahwa lingkungan pendidikan harus benar-benar aman bagi anak. DPR menegaskan, tujuan utama kurikulum ini bukanlah menstigma pesantren atau sekolah, melainkan menciptakan sistem pendidikan yang melindungi murid secara menyeluruh.
Kolaborasi dengan Kemenag dan Kemendikbudristek
Agar implementasi kurikulum berjalan efektif, DPR menekankan pentingnya kolaborasi antara Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Kurikulum anti-pencabulan juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan agama tanpa mengurangi esensi edukasi perlindungan anak. Dengan demikian, pesan moral yang disampaikan tetap mudah diterima di berbagai kalangan masyarakat.
Tantangan Implementasi di Lapangan
Meski terlihat ideal, penerapan kurikulum anti-pencabulan tentu tidak lepas dari tantangan. Beberapa kendala yang kemungkinan muncul di antaranya:
- Resistensi Budaya: Masih ada masyarakat yang menganggap pembicaraan mengenai seksualitas sebagai hal tabu.
- Keterbatasan SDM: Tidak semua pengajar maupun pengajar pesantren memiliki kapasitas untuk mengajarkan materi sensitif ini.
- Pengawasan dan Evaluasi: Dibutuhkan sistem monitoring yang jelas agar kurikulum benar-benar dijalankan dengan baik.
Namun, DPR menegaskan bahwa kendala tersebut tidak boleh menjadi alasan untuk menunda implementasi. Dengan pelatihan khusus bagi pendidik, kurikulum ini diyakini bisa berjalan dengan efektif.
Perlindungan Anak sebagai Prioritas
Menurut data dari berbagai lembaga perlindungan anak, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan, sebagian besar korban enggan melapor karena rasa takut, malu, dan tekanan dari lingkungan.
Karena itu, kehadiran kurikulum anti-pencabulan dipandang sebagai langkah strategis untuk membekali anak sejak dini agar lebih berani berbicara dan tahu bagaimana cara melindungi dirinya sendiri.
Harapan DPR dan Masyarakat
DPR berharap penerapan kurikulum ini bisa menjadi payung perlindungan yang lebih kuat bagi anak di lingkungan pendidikan. Lebih jauh, masyarakat juga diharapkan berperan aktif dalam mendukung langkah ini dengan menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, dan ramah anak.
“Kita harus mencetak generasi yang bukan hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kesadaran diri untuk menjaga martabat dan hak-haknya sebagai manusia,” tegas Waka Komisi X DPR.
Kesimpulan
Dorongan DPR RI untuk menghadirkan kurikulum anti-pencabulan di sekolah dan pesantren merupakan langkah visioner dalam dunia pendidikan nasional. Kurikulum ini tidak hanya sebatas materi tambahan, tetapi juga menjadi instrumen penting untuk menekan angka kekerasan seksual terhadap anak.
Dengan kolaborasi pemerintah, lembaga pendidikan, pengajar, orang tua, serta masyarakat, kurikulum ini diharapkan bisa segera diterapkan. Perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab keluarga, tetapi juga tanggung jawab negara.
Sumber Artikel : https://news.detik.com/
Sumber Gambar : https://sumbar.antaranews.com/
Leave a Reply