Skor PISA Indonesia kembali menjadi sorotan setelah laporan terbaru menunjukkan kemampuan literasi, numerasi, dan sains siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara-negara OECD. Kondisi ini semakin menguatkan keprihatinan publik, terutama para pendidik yang melihat langsung tantangan pembelajaran di ruang kelas. Namun di balik hasil yang kurang menggembirakan tersebut, muncul berbagai upaya kreatif dari para pengajar untuk mengubah situasi. Salah satu contoh datang dari Semarang, di mana seorang pengajar sekolah dasar mengembangkan buku pop-up sebagai media pembelajaran yang lebih menarik dan interaktif.

Langkah ini tidak hanya menunjukkan semangat inovasi, tetapi juga menggambarkan bagaimana perubahan kecil dapat membawa dampak besar terhadap pengalaman belajar siswa. Pendekatan visual dan taktil yang ditawarkan pop-up book terbukti mampu meningkatkan perhatian, rasa ingin tahu, sekaligus pemahaman anak terhadap materi pelajaran.

Skor PISA dan Tantangan Literasi Nasional

Program for International Student Assessment (PISA) merupakan studi internasional yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa berusia 15 tahun. Indonesia telah berpartisipasi sejak awal 2000-an, namun tren performanya cenderung stagnan. Dalam laporan terbaru, skor literasi membaca Indonesia kembali berada di jajaran terbawah.

Beberapa faktor dinilai menjadi penyebab rendahnya capaian tersebut, seperti minimnya budaya membaca, akses terbatas ke bahan bacaan berkualitas, hingga metode pembelajaran yang masih berfokus pada hafalan. Banyak siswa membaca tanpa mampu memahami konteks, menarik kesimpulan, atau mengaitkan isi bacaan dengan kehidupan nyata.

Tantangan tersebut semakin terasa pasca-pandemi, ketika kemampuan memahami teks digital maupun cetak banyak menurun. Meski demikian, sejumlah pengajar menolak menyerah. Mereka mencoba menghadirkan pembelajaran yang lebih kreatif agar siswa kembali menemukan kesenangan dalam membaca.

Pengajar Semarang Hadirkan Inovasi Buku Pop-Up

Di salah satu sekolah dasar di Semarang, seorang pengajar bernama Lestari Wulandari mengambil langkah berbeda. Ia mulai membuat buku pop-up — buku dengan elemen tiga dimensi yang muncul saat halaman dibuka. Visual menarik, warna cerah, dan desain interaktif membuat buku tersebut lebih hidup dibandingkan buku pelajaran biasa.

Menurut Lestari, ide itu muncul setelah ia melihat banyak murid kehilangan minat membaca. Buku pelajaran yang tebal dan minim ilustrasi membuat siswa cepat bosan. “Kalau ingin anak suka membaca, kita harus memberi mereka sesuatu yang membuat mereka penasaran,” ujarnya.

Buku pop-up yang ia kembangkan berisi materi tematik seperti sains sederhana, lingkungan, dan cerita rakyat. Saat siswa membuka halaman tentang daur air misalnya, muncul ilustrasi awan, hujan, dan sungai yang bisa digerakkan. Anak-anak tampak lebih antusias dan bahkan berebut untuk membuka halaman berikutnya.

Dampak Positif pada Minat dan Pemahaman Siswa

Sejak metode ini diterapkan, Lestari melihat perubahan signifikan. Siswa yang sebelumnya pasif mulai menunjukkan ketertarikan untuk membaca dan bertanya. Mereka tidak hanya melihat buku sebagai kewajiban akademik, tetapi sebagai sesuatu yang menyenangkan.

Ia juga mencatat peningkatan pemahaman konsep. Elemen visual yang muncul dalam bentuk 3D membuat anak lebih mudah menangkap materi yang selama ini dinilai abstrak. “Saat konsep menjadi konkret, pemahaman tumbuh lebih cepat,” tambahnya.

Studi literasi juga menunjukkan bahwa media visual interaktif dapat meningkatkan daya ingat karena otak anak bekerja lebih optimal ketika merasakan pengalaman multisensori — melihat, menyentuh, dan bergerak.

Peran Teknologi dan Kreativitas Pengajar

Meskipun buku pop-up identik dengan metode tradisional, proses pembuatannya kini banyak terbantu teknologi. Lestari memanfaatkan aplikasi desain sederhana untuk merancang pola potongan buku. Ia kemudian mencetak, melipat, dan merakitnya secara manual.

Kreativitas seperti ini menjadi kunci dalam dunia pendidikan modern. Ketika fasilitas terbatas, pengajar tetap dapat menciptakan inovasi berbiaya rendah namun berdampak besar. Dukungan teknologi mempercepat proses dan membuka ruang bagi eksplorasi desain yang lebih variatif.

Upaya ini juga sejalan dengan Kurikulum Merdeka yang menekankan pembelajaran berbasis minat dan pengalaman nyata. Media pembelajaran yang menyenangkan dapat membantu siswa lebih terlibat secara aktif, bukan sekadar menerima informasi secara pasif.

Tantangan Implementasi dan Harapan ke Depan

Meski inovasi ini mendapat banyak apresiasi, penerapannya tidak selalu mudah. Membuat buku pop-up membutuhkan waktu, ketelatenan, dan keterampilan desain sederhana. Tidak semua pengajar memiliki waktu atau kemampuan tersebut. Selain itu, biaya produksi dapat meningkat jika bahan yang digunakan tidak tersedia di sekolah.

Namun Lestari memilih untuk membagikan desainnya secara gratis kepada pengajar lain. Ia mengadakan lokakarya kecil di komunitas pengajar Semarang agar metode ini dapat diperluas. Sekolah juga mulai mempertimbangkan mendukung pengembangan media kreatif seperti ini melalui anggaran BOS.

Para orang tua menyambut positif upaya ini, berharap inovasi serupa muncul di sekolah lain. Wacana kolaborasi antara pengajar, sekolah, dan pemerintah daerah kini mulai dibahas untuk memperkuat ekosistem literasi di wilayah tersebut.

Membangun Budaya Literasi dari Ruang Kelas

Upaya menciptakan budaya literasi tidak dapat dilakukan dalam semalam. Namun langkah kecil seperti menghadirkan buku pop-up di sekolah adalah titik awal yang penting. Ketika siswa mulai menikmati membaca, peluang mereka untuk memahami teks, berpikir kritis, dan memperoleh wawasan baru semakin besar.

PISA mungkin menjadi indikator global, tetapi peningkatan literasi sejatinya dimulai dari ruang kelas. Pengajar seperti Lestari menunjukkan bahwa inovasi tidak harus menunggu kebijakan besar — perubahan bisa dimulai dari kreativitas individu yang peduli pada masa depan pendidikan.

Melalui pendekatan menyenangkan dan interaktif, anak-anak kembali menemukan bahwa membaca bukan hanya tugas, melainkan jendela untuk memahami dunia. Jika gerakan seperti ini terus diperluas, bukan tidak mungkin skor PISA Indonesia perlahan meningkat, seiring tumbuhnya generasi yang gemar membaca dan mampu berpikir kritis.


Sumber Artikel : https://www.kompas.com/
Sumber Gambar : https://www.kompas.com/